Sejarah kekuasaan manusia penuh bersama daftar rajazeus dengan siasat licik untuk menjaga dominasi. Salah satu siasat yang paling tua dan efektif adalah Divide et Impera (Pecah Belah dan Kuasai). Konsep ini telah digunakan oleh penguasa, kolonialis, dan elit politik selama berabad-abad untuk memecah belah grup masyarakat sehingga tidak bersatu melawan kekuasaan mereka.
Di masa modern, politik Divide et Impera senantiasa relevan, meski bentuknya lebih halus dan terselubung. Penguasa manfaatkan isu suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA), serta perbedaan ideologi, untuk menciptakan konflik horizontal di antara rakyat. Dengan demikian, perhatian publik teralihkan berasal dari kesenjangan ekonomi, korupsi, dan kebijakan yang merugikan rakyat.
1. Apa Itu Politik Divide et Impera?
Divide et Impera adalah strategi politik yang bertujuan memecah belah kelompok masyarakat agar mudah dikendalikan. Istilah ini berasal dari bahasa Latin dan pertama kali digunakan secara sistematis oleh Kekaisaran Romawi untuk menaklukkan bangsa-bangsa yang lebih besar dengan cara mengadu domba mereka.
Prinsip utamanya adalah:
-
Menciptakan perpecahan di antara kelompok masyarakat.
-
Mengalihkan amarah rakyat dari penguasa ke kelompok lain.
-
Melemahkan solidaritas yang bisa mengancam kekuasaan.
Strategi ini efektif karena manusia cenderung mudah terprovokasi oleh isu identitas seperti agama, etnis, dan kelas sosial.
2. Contoh Penerapan Divide et Impera dalam Sejarah
a. Kolonialisme di Indonesia
Belanda menggunakan strategi ini selama 350 tahun menjajah Indonesia. Mereka:
-
Memecah belah kerajaan-kerajaan Nusantara (misalnya, mengadu domba Mataram dengan Banten).
-
Menerapkan sistem rasial (orang Eropa di atas, Timur Asing di tengah, pribumi di bawah).
-
Menggunakan politik adu domba (devide et impera) dengan memanfaatkan persaingan antar-suku.
b. Politik Apartheid di Afrika Selatan
Rezim Apartheid memisahkan warga berdasarkan ras untuk mempertahankan dominasi kulit putih. Mereka menciptakan Bantustan (daerah khusus kulit hitam) agar tidak bersatu melawan pemerintah.
c. Politik AS di Timur Tengah
AS sering dituding memecah belah Timur Tengah dengan mendukung kelompok tertentu melawan kelompok lain (misalnya, Iran vs Arab Saudi, Sunni vs Syiah) agar negara-negara tersebut tidak bersatu melawan hegemoni Barat.
3. Bentuk Modern Divide et Impera di Politik Kontemporer
Di era demokrasi, strategi ini tidak hilang, tetapi berubah bentuk. Beberapa contohnya:
a. Politik Identitas (SARA)
Penguasa atau partai politik sering memanfaatkan isu agama dan etnis untuk memenangkan pemilu. Misalnya:
-
Menggalang dukungan dengan mengklaim sebagai “pembela agama tertentu”.
-
Menyebarkan narasi bahwa kelompok lain adalah ancaman.
b. Media dan Hoaks
Media yang dikendalikan penguasa sering menyebarkan berita provokatif untuk memecah belah, seperti:
-
Membesar-besarkan konflik kecil menjadi isu nasional.
-
Menyebarkan hoaks untuk memicu kebencian antarkelompok.
c. Kebijakan yang Diskriminatif
Pemerintah kadang sengaja membuat kebijakan yang menguntungkan satu kelompok dan merugikan kelompok lain, sehingga rakyat sibuk berkonflik internal alih-alih menuntut kebijakan yang adil.
4. Dampak Divide et Impera terhadap Masyarakat
Strategi ini memiliki efek yang sangat merusak, antara lain:
-
Melemahkan persatuan nasional.
-
Memicu konflik horizontal (seperti kerusuhan SARA).
-
Mengalihkan perhatian dari masalah utama (kemiskinan, korupsi, ketimpangan).
-
Memperpanjang kekuasaan elit yang korup.
Masyarakat yang terpecah-pecah akan sulit melakukan perubahan besar, karena energi mereka habis untuk saling berselisih.
5. Bagaimana Rakyat Bisa Melawan Strategi Ini?
Agar tidak terus menjadi korban politik pecah belah, rakyat harus:
a. Meningkatkan Kesadaran Kritis
-
Tidak mudah terprovokasi isu SARA.
-
Memverifikasi informasi sebelum menyebarkannya.
b. Membangun Solidaritas Lintas Kelompok
-
Bersatu melawan kebijakan yang merugikan, terlepas dari perbedaan agama atau suku.
-
Mendukung gerakan yang mengedepankan keadilan sosial.
c. Menuntut Akuntabilitas Penguasa
-
Fokus pada kebijakan, bukan identitas pemimpin.
-
Meminta transparansi dalam pemerintahan.
Kesimpulan
BACA JUGA: Machiavelli di Era Modern: Apakah ‘Tujuan Menghalalkan Cara’ Masih Relevan?
Politik Divide et Impera adalah alat lama yang masih dipakai penguasa untuk mempertahankan status quo. Dengan memecah belah rakyat, mereka memastikan tidak ada kekuatan besar yang bisa mengancam kekuasaannya.
Namun, sejarah juga membuktikan bahwa rakyat yang bersatu dan kritis bisa mengalahkan strategi ini. Kuncinya adalah pendidikan politik, solidaritas, dan keberanian untuk menuntut keadilan.
Jika masyarakat mampu melihat permainan ini dan menolak terpecah belah, maka kekuasaan otoriter dan korup tidak akan bertahan lama. Persatuan rakyat adalah ancaman terbesar bagi penguasa yang lalim.