
Membangun Politik Sehat di Dalam Negeri: Tantangan dan Peluang
Membangun Politik Sehat di Dalam Negeri: Tantangan dan Peluang
Politik merupakan bagian tak terpisahkan dari kehidupan berbangsa. Setiap keputusan besar yang menyentuh rakyat, dari harga bahan pokok hingga kebijakan pendidikan, lahir dari proses politik. Tapi, seperti tubuh manusia, politik pun bisa sakit — penuh intrik, konflik, dan kepentingan jangka pendek. Maka dari itu, penting untuk terus mendorong lahirnya politik yang sehat, yang berpihak pada rakyat dan membawa manfaat nyata.
Apa Saja Tantangannya?
Salah satu tantangan terbesar dalam politik dalam negeri adalah https://www.maestravidasthlm.com/ minimnya etika dalam praktik politik. Masih banyak politisi atau aktor politik yang lebih fokus pada kekuasaan daripada pelayanan. Politik kadang jadi alat untuk menang sendiri, bukan untuk membangun bersama.
Tak hanya itu, polarisasi masyarakat yang tajam, terutama di musim pemilu, juga jadi persoalan serius. Perbedaan pandangan politik seolah jadi alasan untuk memusuhi, bukan berdiskusi. Ditambah lagi dengan maraknya disinformasi di media sosial, yang memperkeruh situasi dan membingungkan publik.
Tak kalah penting, kurangnya keterlibatan aktif masyarakat dalam proses politik membuat keputusan penting sering hanya dikuasai oleh segelintir elite. Padahal, partisipasi warga adalah kunci dari demokrasi yang sehat.
Tapi Ada Banyak Peluang Juga, Lho
Meski tantangannya nyata, bukan berarti jalan buntu. Justru, ada peluang besar untuk memperbaiki wajah politik nasional.
Pertama, makin banyak anak muda yang sadar pentingnya keterlibatan dalam politik. Mereka aktif berdiskusi, mengawasi, bahkan mulai terjun langsung ke dunia pemerintahan. Ini sinyal positif bahwa politik tidak lagi dimonopoli oleh generasi lama.
Kedua, akses informasi yang semakin terbuka memberi ruang bagi masyarakat untuk mengkritisi dan memahami proses politik. Transparansi, jika dijaga dan ditingkatkan, bisa menjadi alat pembentuk kepercayaan baru antara rakyat dan wakilnya.
Ketiga, munculnya komunitas sipil, media independen, serta inisiatif pendidikan politik dari berbagai pihak juga memperkuat pondasi politik yang lebih sehat.
Kolaborasi Adalah Kunci
Untuk membangun politik yang sehat, semua elemen harus bergerak bersama. Pemerintah perlu terbuka dan adil, partai politik harus lebih mengutamakan visi jangka panjang, media wajib jujur menyampaikan fakta, dan rakyat jangan diam. Demokrasi yang hidup lahir dari keterlibatan aktif semua pihak.
Membangun politik sehat bukan tugas mudah, tapi sangat mungkin dilakukan. Kita hanya perlu memulai dari kesadaran bersama: bahwa politik seharusnya jadi alat menyatukan, bukan memecah; jadi ruang membangun masa depan, bukan arena pertarungan kepentingan. Dengan cara pandang seperti ini, masa depan politik Indonesia bisa jauh lebih sehat dan menjanjikan.
Baca Juga : Beginilah Isu Politik Indonesia Setelah Demo Bulan Agustus Akhir

Menyelami Pengabaian Hak Politik Masyarakat Adat dalam Pemilu
Pemilu merupakan instrumen politik yang sah bagi negara-negara yang menganut sistem demokrasi. Sebagai mekanisme yang memastikan rotasi kekuasaan berjalan dengan adil dan sah, pemilu juga merupakan wujud dari kedaulatan rakyat. Pertanyaannya adalah, seberapa penting menjamin pemilu yang berlangsung secara adil? Pilihan https://www.amoskeagjewelers.com/ terhadap sistem pemilu tertentu memiliki dampak besar terhadap masa depan politik suatu negara. Namun, dalam praktiknya, sistem pemilu sering kali mengabaikan hak asasi manusia, lebih mengutamakan kepentingan politik jangka pendek. Sistem ini sering terjebak pada perspektif yang bersifat universal dan prosedural, namun mengabaikan substansi yang sesungguhnya.
Selama dua dekade terakhir, Masyarakat Adat menjadi korban dari sistem pemilu yang mengabaikan hak-hak mereka. Desain pemilu yang ada gagal beradaptasi dengan realitas sosial dan budaya yang berkembang. Masyarakat Adat menjadi korban dua kali: pertama, oleh agresi pembangunan yang merusak tatanan hidup mereka; kedua, oleh sistem pemilu yang diskriminatif terhadap hak politik mereka.
Dekade Pengabaian
Studi yang dilakukan oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mencatat tiga masalah utama yang menyebabkan hilangnya hak politik Masyarakat Adat dalam pemilu. Pertama, alasan kultural. Pranata hukum adat yang telah ada dalam kehidupan Masyarakat Adat sering kali bertentangan dengan ketentuan administratif yang diperlukan untuk berpartisipasi dalam pemilu. Kedua, konflik tenurial dan ketidakpastian wilayah administratif. Syarat untuk mengikuti pemilu adalah adanya kepastian wilayah administratif atau domisili. Namun, Masyarakat Adat sering kali kehilangan hak atas tanah mereka akibat tidak adanya perlindungan hukum dan pengakuan dari negara. Hal ini menyebabkan konflik yang berkepanjangan, di mana mereka sering kali terpaksa meninggalkan wilayah mereka. Konflik tenurial ini pada akhirnya mengakibatkan hilangnya hak politik Masyarakat Adat. Ketiga, sebaran geografis yang sulit dijangkau. Negara dan penyelenggara pemilu sering beralasan bahwa wilayah tempat tinggal Masyarakat Adat yang terletak jauh dari pusat administratif membuat mereka sulit dijangkau untuk proses pemilu.
Jika kita meninjau pelaksanaan pemilu dalam dua dekade terakhir, kita bisa mulai dengan Pemilu 1999, yang merupakan pemilu pertama setelah jatuhnya rezim otoriter Orde Baru. Banyak pihak menganggap pemilu pasca-reformasi sebagai bentuk mekanisme pengambilan keputusan yang paling demokratis. Tingkat partisipasi masyarakat saat itu mencapai 92,7 persen, yang merupakan angka tertinggi kedua setelah Pemilu 1955. Pemilu 1999 mengadopsi sistem periodic list, di mana pendaftaran pemilih hanya dilakukan saat hendak menyelenggarakan pemilu. Pemilu ini juga menerapkan prinsip voluntary registration, di mana hak untuk memilih adalah hak setiap warga negara dan pemilih bisa memilih untuk mendaftar atau tidak dalam daftar pemilih. Prosedur administrasi ini mengharuskan pemilih menunjukkan kartu tanda penduduk atau bukti identitas sah lainnya sebagai persyaratan administratif untuk menggunakan hak pilih.
Namun, dalam kenyataannya, prosedur administratif ini justru mengabaikan hak-hak tertentu. Masyarakat Adat kehilangan hak politik mereka untuk memilih karena ketidakcocokan antara kepercayaan yang mereka anut dengan sistem administrasi pemilu yang berlaku. Pada masa itu, negara tidak mengakui agama atau kepercayaan yang dipegang oleh Masyarakat Adat, sehingga mereka tidak bisa mengurus identitas kependudukan yang diperlukan untuk memilih. Hal ini menggambarkan adanya ketidaksesuaian antara nilai-nilai adat dan logika administrasi pemilu yang lebih mengutamakan prosedural dibandingkan dengan substansi hak-hak masyarakat.

Kondisi Politik Terkini Indonesia: Di Persimpangan Demokrasi dan Tantangan Global
Indonesia saat ini tengah menjalani babak baru dalam lanskap politik nasionalnya. Di tengah upaya modernisasi dan digitalisasi berbagai sektor, muncul sejumlah isu penting yang menyoroti keseimbangan antara hak warga negara, keamanan nasional, dan pertumbuhan ekonomi.
🔍 1. Langkah Tegas Pemerintah: Pengawasan Telekomunikasi Diintensifkan
Pemerintah, lewat Kejaksaan Agung, baru-baru ini menjalin kerja sama dengan empat operator seluler besar untuk jepang slot memperkuat sistem penyadapan dalam rangka melacak buronan. Meski dianggap efektif oleh aparat, sejumlah pihak khawatir langkah ini bisa mengarah pada pelanggaran hak privasi warga karena belum adanya batasan hukum yang jelas.
💰 2. Pajak Digital: E-commerce Jadi Target Baru
Untuk merangkul sektor ekonomi digital yang selama ini berada di wilayah “abu-abu”, pemerintah tengah menggodok aturan baru yang mewajibkan platform seperti Tokopedia, Shopee, dan TikTok Shop memotong langsung pajak 0,5% dari pendapatan penjual. Ini menjadi sinyal bahwa Indonesia serius membenahi basis pajaknya sekaligus mengatur ulang permainan di sektor UMKM digital.
🏳️🌈 3. Isu Sosial: Penangkapan di Pesta Privat Menuai Kritik
Aparat menggerebek sebuah acara privat yang dikaitkan dengan komunitas LGBTQ+ di Bogor, memicu reaksi keras dari organisasi HAM. Meskipun tak ada pelanggaran hukum pidana, tindakan aparat dinilai mempersempit ruang gerak kebebasan beridentitas dan privasi individu.
📍 4. Ketegangan Wilayah: Isu Aceh dan Wacana Daerah Istimewa Baru
Isu sengketa wilayah antara Aceh dan Sumatra Utara, serta usulan menjadikan Surakarta sebagai Daerah Istimewa, menggambarkan betapa sensitifnya politik identitas dan tuntutan daerah akan otonomi yang lebih besar.
🌐 5. Diplomasi Presiden Prabowo: Fokus ke Timur, Jauhi Barat?
Presiden terpilih Prabowo Subianto membuat gebrakan dengan tidak hadir di KTT G7, namun memilih bertemu Presiden Rusia, Vladimir Putin. Langkah ini mengindikasikan arah baru diplomasi Indonesia—lebih strategis dan berorientasi keseimbangan global.
💣 6. Kasus Korupsi Pertamina & Revisi UU TNI
Skandal korupsi raksasa di tubuh Pertamina menyeruak dengan dugaan kerugian negara nyaris Rp 1.000 triliun. Di sisi lain, masyarakat sipil menentang keras rencana revisi UU TNI yang dinilai bisa menghidupkan kembali peran ganda militer di ranah sipil.
Baca Juga: Politik Malaysia dan Peran Partai UMNO dalam Demokrasi Kontemporer

Indonesia Sedang Tidak Baik-Baik Saja
Malam ini, saya duduk di beranda sambil menyesap secangkir kopi, merenungkan berita-berita yang terus bermunculan di media. Semakin saya membaca, semakin saya merasa bahwa ada sesuatu yang tidak beres di negeri ini, terutama menjelang Pilkada 2024. Seolah-olah demokrasi yang kita bangun dengan susah payah, sedang terguncang oleh kepentingan-kepentingan yang tidak berpihak pada rakyat.
Satu hal yang paling mengganggu pikiran saya adalah adanya upaya dari Koalisi Indonesia Maju yang tampak ingin memastikan bahwa calon-calon mereka di berbagai daerah tidak akan mendapat perlawanan berarti, bahkan jika itu berarti harus melawan kotak kosong atau calon independen yang tidak dikenal masyarakat. Saya bertanya-tanya, apakah ini benar-benar demokrasi? Di mana letak keadilan ketika rakyat dipaksa memilih antara kandidat yang sudah diatur atau sekadar memilih “tidak memilih”?
Belum selesai dengan kegelisahan itu, Mahkamah Konstitusi (MK) kemudian mengeluarkan putusan pada 20 Agustus kemarin yang menyatakan bahwa partai politik tidak perlu memiliki kursi di DPRD untuk mengajukan calon kepala daerah. Awalnya, saya berpikir bahwa ini bisa membuka peluang bagi calon-calon baru yang lebih segar dan tidak terikat dengan oligarki politik. Tapi, semakin dipikirkan, semakin saya merasakan ada yang tidak beres. Dengan kebijakan ini, mungkinkah justru memberi ruang bagi kekuatan politik besar untuk bermain lebih leluasa? Dalam situasi di mana kontrol atas demokrasi sudah mulai dipertanyakan, ini bisa jadi pisau bermata dua.
Baca Juga : 4 Fungsi Etika Dalam Politik Yang Terjadi Pada Pemilu 2024 Lalu
Keputusan MK ini ternyata tidak dibiarkan begitu saja oleh DPR. Besoknya, mereka langsung merespons dengan mengadakan rapat untuk membahas revisi UU Pilkada. Ini, bagi saya, bukan sekadar reaksi spontan, tapi lebih terasa seperti strategi terencana untuk mengekang potensi munculnya calon-calon baru yang tidak sesuai dengan keinginan partai-partai besar. Ada aroma manipulasi yang kental dalam langkah ini, seolah-olah ada yang sedang berusaha untuk memastikan bahwa kompetisi politik tetap dikuasai oleh segelintir orang yang sama.
Dalam hati saya, terbersit kekhawatiran mendalam. Apalagi ketika mendengar kabar bahwa Panitia Kerja (Panja) revisi UU Pilkada di Badan Legislasi (Baleg) DPR RI mencoba mengakali putusan MK dengan melonggarkan ambang batas rajaolympus (threshold) pencalonan kepala daerah, namun hanya untuk partai politik yang tidak punya kursi di DPRD. Rasanya seperti menyaksikan sandiwara politik yang sudah bisa ditebak akhirnya.
Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Ini bukan sekadar perasaan subjektif, tapi sebuah kenyataan yang tercermin dari berbagai data dan fakta. Menurut laporan dari Indikator Politik Indonesia tingkat kepercayaan publik terhadap dua institusi yakni Partai Politik (Parpol) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) masih terbilang sangat-sangat rendah yakni dengan tingkat kepercayaan publik 55,9 persen dan Partai Politik (Parpol) dengan angka 51,3 persen. Angka ini bukan sekadar statistik, tapi cerminan dari kekecewaan mendalam rakyat terhadap proses politik yang semakin elitis dan jauh dari harapan mereka.

KPU Kubu Raya Lakukan FGD untuk Mengevaluasi Hasil Pemilu
Tahukah kamu apa itu politik etis? Menginfokannya dari bermacam-macam sumber, politik etis ialah sebuah pemikiran yang mengungkapkan pemerintah kolonial Belanda memiliki kewajiban akhlak untuk menyejahterakan penduduk Indonesia(yang dulunya Hindia Belanda) karena sudah memberikan kemakmuran bagi negerinya.
Era politik etis ini dipimpin lantas oleh Menteri Jajahan, Alexander WF Idenburg, yang kemudian menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada tahun periode 1909 – 1916. Kebijakan dalam politik etis malahan tertuang dalam program Trias Van Deventer atau Trias Politika yang meliputi pembangunan metode pengairan (irigasi), ajakan terhadap penduduk untuk transmigrasi (imigrasi) dan pembangunan sarana pengajaran (edukasi atau pengajaran).
Politik Etis, Alasan Belanda Gencar Buka Sekolah di Indonesia
Pada era politik etis memang terlihat simbol baru berupa kemajuan. Di permulaan abad ke-20 Belanda gencar membuka sejumlah sekolah rendahan dan kejuruan di Indonesia. Terkesan balas budi, rupanya politik etis ialah salah satu upaya kolonial Belanda yang sarat kepentingan. Segera, apa saja alasan yang mendasari pembukaan sekolah-sekolah oleh Belanda?
Baca Juga : KPU Kubu Raya Lakukan FGD untuk Mengevaluasi Hasil Pemilu
1. Meningkatkan Taraf Hidup Masyarakat
Selama masa diberlakukannya politik etis di Indonesia, banyak sekolah-sekolah yang dibuka dengan tujuan meningkatkan taraf hidup masyarakat. Hal hal yang demikian juga berkaitan dengan salah satu aspek kebijakan yang tertuang dalam Trias Van Deventer, ialah edukasi atau pengajaran. Dimasa ini, pemerintah kolonial Belanda membuka banyak sekolah rendah sampai ke pelosok desa, seperti Volkschool, Hollandsch Indische School, dan Vervolgschool.
2. Wujud Balas Tapi
Salah satu hal yang mendasari diberlakukannya politik etis di Indonesia ialah bentuk balas budi. Meski betul-betul disayangkan, upaya balas budi yang dikerjakan oleh Belanda ini sarat akan kepentingan politik dan ekonomi sehingga tujuan utamanya terabaikan. Mendapat buah hati-buah hati bumiputera dari kalangan menengah ke bawah diizinkan mengenyam pengajaran, tapi terdapat sejumlah batasan malahan intervensi dari mereka.
3. Untuk Daya Diberitakan Kerja yang Murah
Daya dari beberapa sumber, tujuan dibukanya sekolah-sekolah semasa politik etis ini tidak lain ialah supaya pemerintah Belanda mendapatkan kekuatan kerja yang murah untuk mengisi posisi-posisi rendahan di pabrik maupun dinas tertentu ditingkat lokal, seperti desa, distrik dan juga onderdistrik.
4. Pemenuhan Diberitakan Kerja yang Profesional
Dibukanya sekolah-sekolah rendahan dan juga sekolah kejuruan di joker388 Indonesia tidak lain ialah untuk memenuhi kekuatan kerja professional. Mengingat ketika itu banyaknya industry yang mulai berdiri di kawasan Hindia Belanda dan memerlukan ahli layak bidangnya.
Nah itulah sedikit penjelasan mengenai politik etis dan alasan kenapa diterapkannya kebijakan hal yang demikian di Indonesia. melulu memiliki pengaruh negative, adanya kebijakan Trias Politika di era politik etis memiliki pengaruh positif yang sudah memunculkan elit baru di kalangan masyarakat pribumi.

KPU Kubu Raya Lakukan FGD untuk Mengevaluasi Hasil Pemilu
Komisi Pemilihan Lazim (KPU) Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat (Kalbar) menggelar Focus Group Discussion (FGD) untuk melaksanakan penyusunan laporan evaluasi Pemilihan Lazim (Pemilu) serentak 2024 lalu.
Kegiatan ini melibatkan berjenis-jenis pemangku kepentingan https://www.terrafirmahenderson.com/the-altman-brothers seperti, Bawaslu Kubu Raya, partai politik, akademisi, media dan pemantau pemilu. Kegiatan FGD ini digelar disalah satu hotel di Kubu Raua pada Selasa (18/2/2025) pagi.
Dalam sambutanya, Ketua KPU Kabupaten Kubu Raya, Kasiono mengatakan, kegiatan ini merujuk pada undang-undang disurat Komisi Pemilihan Lazim Republik Indonesia (KPU RI) dengan nomor 314/PL01-SD/01/2025.
“FGD ini bertujuan untuk membentuk laporan evaluasi Pemilu 2024 di tingkat Kabupaten Kubu Raya dengan melibatkan berjenis-jenis stakeholder berkaitan. Evaluasi ini betul-betul penting untuk menentukan penyelenggaraan pemilu yang lebih bagus ke depan,” kata Kasiono.
Kasiono kemudian menuturkan, FGD ini ialah wadah untuk menerima usulan, termasuk kritik, terhadap tahapan-tahapan pemilihan yang sudah dijalankan pada tahun 2029 mendatang.
“Semua usulan-usulan nantinya akan menjadi bahan anjuran bagi KPU secara bertahap hingga ke KPU Republik Indonesia. Hal ini untuk meningkatkan kwalitas penyelenggara pemilu di masa mendatang,” ujar Kasiono.
Ia juga mau hasil pembicaraan ini, pihaknya dapat mengidentifikasi berjenis-jenis aspek yang perlu dibetulkan dalam tahapan pemilihan, bagus pemilihan bupati-wakil bupati maupun pemilihan gubernur-wakil gubernur.
Baca Juga : Dampak Pemilu Bagi Perkembangan Negara
“Dengan adanya evaluasi, diharapkan pemilihan kepala tempat mendatang dapat berjalan lebih bagus lagi, serta minim kendala, serta lebih profesional dan demokratis,” ungkapnya.
Kemudian Ketua KPU Kubu Raya itu membeberkan bahwa, ada tiga tema besar yang diangkat dalam FGD ini, ialah pertama menyangkut kelembagaan serta mengevaluasi peran performa penyelenggara pemilu 2024 baru lalu.
“Kemudian membahas unsur-unsur luar memberi pengaruh jalannya pemilu, bagus sebelum maupun sesudah pemilihan termasuk distribusi logistik pemilu, dan aspek teknik lainnya, dan juga tingkat partisipasi pemilih,” pungkasnya.
Dari hasil FGD ini nantinya akan dirumuskan menjadi anjuran yang akan disampaikan ke KPU Provinsi dan KPU Sentra. Tujuannya untuk meningkatkan efektivitas dan transparansi dalam penyelenggaraan pemilu mendatang.
“Memang banyak isian – isian yang kami isi untuk internal, tapi ada hal – hal di luar yang dibuat regu kami sebagai tolok ukur perubahan ke depan dalam proses pemilu 2029 nanti, “sebut Kasiono di sela kegiatan.
Kasiono membeberkan yang paling diangkat oleh partai politik pada evaluasi tersebut ialah tentang pemilih.
Ia berujar bahwa memang ada kekhawatiran di permulaan tentang jumlah pemilih dikarenakan jarak tempat tinggal pemilih dan unsur lainnya.
“Dari sahabat – sahabat parpol yang paling banyak diangkat itu soal pemilih, “katanya.
Tetapi pada FGD ini lanjutnya, terdapat usulan – usulan diantaranya soal Pantarlih yang dibuat dapat dibuat dua Pantarlih.
Bukan cuma mengamati dari sisi pemilih yang jumlahnya 400, tapi diamati juga dari sisi geografisnya.

Kunjungan Prabowo ke China dan Rusia Tunjukkan Pergeseran Orientasi Politik Luar Negeri RI
Menteri Pertahanan RI sekaligus Presiden Terpilih, Prabowo Subianto, mengawali perjalanannya lawatan ke luar negeri dengan mengerjakan pertemuan dengan sebagian tokoh dunia. Belum lama ini, Prabowo berkunjung ke Rusia sesudah sebelumnya telah mengunjungi ke sejumlah negara di Asia dan Eropa seperti China, Jepang, Prancis, Serbia, Turki. Kunjungan ini menjadi upaya Prabowo dalam menjalin kekerabatan global dalam rangka memperkuat posisi strategis Indonesia di ajang Internasional.
Pengamat Kebijakan Relasi Internasional dari Fisipol UGM, Dr. Dafri Agus Salim, M.A., menyebutkan bahwa kunjungan tersebut nampak memberi sinyal akan adanya kemungkinan pergeseran orientasi politik luar negeri Indonesia. “Aku merasa sepertinya kunjungan ini memberi sinyal atau pertanda bahwa orientasi politik kita kemungkinan akan sedikit bergeser. Dari yang tadinya agak barat, ini mungkin kita agak ke timur. Dalam konteks ini maksudnya braxtonatlakenorman.com ke negara-negara yang tidak senantiasa akrab dengan negara-negara Barat, terlebih Amerika,” papar Dafri dalam keterangannya kepada wartawan, Rabu (7/8) di Kampus UGM.
Dari daftar negara-negara yang dikunjungi, Kata Dafri, Prabowo tidak pergi ke negara-negara Barat. Sebaliknya, ia justru memperlihatkan harapan menjalin kerja sama dengan negara-negara Timur, seperti Turki, China, dan Rusia yang berpotensi besar dalam kekerabatan ekonomi perdagangan Indonesia ke depannya. Kunjungan ini juga mengindikasikan bahwa Prabowo berkeinginan Indonesia tampil di dunia internasional sebagai negara yang mampu menghimpun tenaga Timur.
Baca Juga : Dinamika dan Peranannya Politik dalam Kehidupan Sosial
Kecuali itu, Dafri juga beranggapan bahwa kunjungan yang dikerjakan Prabowo tersebut sepertinya juga bertujuan untuk menemukan ruang baru bagi kerja sama ekonomi perdagangan Indonesia, di luar negara-negara Barat.
Soal kunjungan Prabowo ke China dan Rusia ini menurutnya dapat berdampak besar kepada kekerabatan politik luar negeri Indonesia dengan Amerika yang berseberangan skor-skor politiknya dengan negara-negara tersebut. Taktik Indonesia untuk mendekati China, Rusia, Turki, dikerjakan dalam rangka meningkatkan posisi tawar kepada negara-negara Barat yang selama ini dianggap menekan dan mengesampingkan kepentingan Indonesia.
Dengan memperkuat posisi tawar, kata Dafri, memungkinkan Indonesia memiliki jalan masuk yang lebih besar untuk merealisasikan kepentingannya. Kecuali itu, akibat lainnya akan berdampak pada jalan masuk Indonesia kepada bantuan-bantuan, bagus negara-negara Barat atau lembaga-lembaga Internasional yang mungkin dapat menjadi kian melemah. Di sisi lain, Indonesia nantinya dapat menginginkan bantuan dari negara-negara lain. “Menurut aku, ada dua tujuannya, untuk meningkatkan posisi tawar untuk menerima jalan masuk lebih besar di bidang keamanan, seumpama pembelian senjata, dukungan politik, dst. Bagian dari strategi Prabowo nanti untuk membuka pasar yang lebih luas dengan kerja sama ekonomi di luar negara-negara mainstream Barat,” jelas Dafri.
Pergeseran orientasi ini oleh Dafri diukur diberi pengaruh oleh dinamika politik domestik Indonesia. “Jadi, jangan-jangan mengapa kita sekarang dekat sekali dengan China, walaupun dulu Prabowo seperti nampak anti-China dari orasi-orasinya, itu diberi pengaruh oleh tenaga politik di dalam negeri, termasuk dalam hal ini pengusaha,” papar Dafri.
Dengan pergeseran orientasi politik luar negeri yang terjadi ini memperlihatkan bahwa Indonesia belum dapat mengerjakan politik bebas aktif yang murni cocok dengan konsep yang ada. “Di era Soekarno kita sungguh-sungguh dekat dengan Timur, melainkan di era Soeharto kita dekat dengan Barat. Tak dapat dikatakan sebagai bebas aktif, lebih dapat dikatakan sebagai pragmatisme. Kita tidak peduli lagi, berkeinginan barat, berkeinginan timur, bila ia menguntungkan ya, jadi teman kita. Jadi bukan bebas aktif seperti yang dikonsepkan. Aku memperhatikan ke depannya juga oleh Prabowo tidak akan murni,” pungkasnya.

2025 Dinilai bakal Jadi Ujian Sesungguhnya dari Metode Politik Perorangan Jokowi
Tahun 2025 dievaluasi akan menjadi ujian sebetulnya sekalian momen pembuktian Joko Widodo atau Jokowi dalam mengelola modal politik yang dimiliki, apakah dengan pendekatan personal (perorangan) atau berbasis partai politik.
“Menarik melihat bagaimana Jokowi mengelola modal politik yang tidak berbasis partai, tapi dampak personalnya,” tutur Psikolog Politik UNS Solo, Abdul Hakim, dikala diwawancarai Espos, Rabu (1/1/2025) siang.
Ia melihat Jokowi cukup sukses menanamkan dampaknya dengan meng-endorse banyak calon kepala tempat dan calon wakil kepala tempat dalam Pilkada 2024. Pun banyak di antara para calon itu yang sukses memenangi kontestasi Pilkada.
“Beberapa besar calon yang di-endorse [Jokowi] menang. Melainkan kan tidak ada instrumen organisasi partai yang akan mengatur loyalitas mereka. Jadi kita lihat bagaimana Jokowi dapat menjaga dampaknya, secara khusus kepada calon-calon yang ia endorse,” kata ia.
Abdul Hakim beranggapan Jokowi akan terus berupaya membuat dirinya relevan dengan jknailsbeauty.com dinamika politik yang terjadi. Sebab Presiden ke-7 RI itu sudah memperkenalkan akan tetap aktif di politik, kendati sudah purnatugas dan belum mempunyai kendaraan partai politik.”
“Jokowi kan memperkenalkan akan tetap aktif di politik. Jadi Jokowi bukan tipikal mantan presiden yang menghabiskan waktu melukis atau membuat nyanyian. Beliau mempertimbangkan menjadi seorang mantan presiden yang tetap muncul di publik dan aktif di pentas politik,” tutur ia.
Baca Juga: Definisi, Jenis, dan Perkembangannya dalam Dunia Politik
Bagaimana Jokowi mempertahankan dampaknya tanpa mesin parpol dan tidak lagi menjadi Presiden, berdasarkan Abdul Hakim, bakal menarik dicermati. “Kita akan lihat satu warna atau pendekatan politik baru bagaimana Jokowi mengelola dampak politiknya,” sambung ia.
“Politik kita sekarang politik yang kurang beretika,” ujar Jokowi dikala menjadi pembicara dalam talkshow bertema ‘Peran antar Faktor Bangsa; Dahulu, Kini dan Datang’ di Hotel Sunan, Solo, Jawa Tengah, Jumat (20/6).
Politik kurang beretika yang dimaksud Jokowi merupakan banyaknya perbuatan tidak terpuji dilakukan demi menerima kekuasaan. Jokowi kemudian mencontohkan banyaknya kampanye hitam di sosial media yang dilakukan pihak tertentu untuk menjatuhkan dirinya.
“Aku menyukai geleng-geleng kepala bila lihat sosial media. Bahasanya kasar-kasar sekali,” ucap gubernur DKI Jakarta non-aktif tersebut.
Jokowi menilai, pesta demokrasi harusnya disambut dengan kegembiraan. Masyarakat harus berbahagia karena akan mempunyai pemimpin baru yang diyakini akan membawa perubahan ke arah lebih baik. Melainkan, yang terjadi dikala ini justru masyarakat dijejali dengan berjenis-jenis kabar yang menyesatkan.